Kondisi
Sumberdaya Perikanan
Kondisi
perikanan dunia saat ini tidak dapat lagi dikatakan masih berlimpah. Tanpa
adanya konsep pengelolaan yang berbasis lingkungan, dikhawatirkan sumber daya
yang sangat potensial ini (sebagai sumber protein yang sehat dan murah) bisa
terancam kelestariannya. Karena itu, sidang Organisasi Pangan Sedunia (FAO)
memperkenalkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) sejak 1995.
Konsep yang diterjemahkan sebagai Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab
(Code of Conduct for Responsible Fisheries) tersebut telah diadopsi oleh hampir
seluruh anggota badan dunia sebagai patokan pelaksanaan pengelolaan perikanan.
Sekalipun sifatnya sukarela, banyak negara telah sepakat bahwa CCRF merupakan
dasar kebijakan pengelolaan perikanan dunia. Dalam pelaksanaannya, FAO telah
mengeluarkan petunjuk aturan pelaksanaan dan metode untuk mengembangkan
kegiatan perikanan yang mencakup perikanan tangkap dan budidaya.
Kecenderungan ini tidak bisa
dibiarkan karena pada akhirnya manusia hanya akan bisa menyantap sup ubur-ubur
dan plankton. Sekarang tindakan nyata yang dapat dilakukan untuk mengatasi
permasalahan illegal fishing pada ikan-ikan karang khususnya untuk memperbaiki
daerah karang yang rusak adalah dengan melakukan transpalasi karang ataupun
pembuatan terumbu karang buatan. Terumbu karang buatan adalah suatu struktur
yang dibangun untuk menyediakan lingkungan, habitat, sumber makanan, tempat
pemijahan dan asuhan, serta perlindungan pantai sebagaimana halnya terumbu
karang alam.
Karena pemerintah yang belum
menunjukkan perhatian yang optimal dalam mengelola sistem alami dan kualitas
lingkungan kawasan pesisir dan lautan khususnya terumbu karang dan lemahnya
penegakan hukum (law enforcement). Tapi kita tidak bisa terus menunggu hal ini
berubah kita semua harus turun tangan terutama yang peduli. Kita dapat turut
mengawasi penegakan hukum, mengawasi jika terjadi pengerusakan terumbu karang,
dan terus menyuarakan dan bertukar pikiran dengan nelayan akan betapa
pentingnya terumbu karang terhadap hasil tangkapan ikan mereka nanti. Dengan
Terlaksananya semua hal di atas pasti akan memberikan dampak nyata pada nelayan
dan kelestarian terumbu karang walau mungkin tidak dalam waktu singkat untuk
menyelesaikan masalah ini sepenuhnya.
Pengertian
Ilegal Fishing
llegal
fishing merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan tidak
bertanggung jawab dan bertentangan oleh kode etik penangkapan bertanggung jawab
Illegal fishing termasuk kegiatan mall praktek dalam pemanfaatan sumberdaya
perikanan yang merupakan kegiatan pelanggaran hukum. Kegiatan illegal fishing
umumnya bersifat merugikan bagi sumberdaya perairan yang ada. Kegiatan ini
semata-mata hanya akan memberikan dampak yang kurang baik baik ekosistem
perairan akan tetapi memberikan keuntungan yang besar bagi nelayan. Dalam
kegiatan panangkapan yang dilakukan nelayan dengan cara dan alat tangkap yang
bersifat merusak yang dilakukan oleh nelayan khususnya nelayan traditional.
Untuk menangkap sebanyak-banyaknya ikan-ikan karang yang banyak digolongkan
kedalam kegiatan illegal fishing karena kegiatan penangkapan yang dilakukan
semata-mata memberikan keuntungan hanya untuk nelayan tersebut dampak berdampak
kerusakan untuk ekosistem karang. Kegiatan yang umumnya dilakukan nelayan dalam
melakukan penangkapan dan termasuk kedalam kegiatan illegal fishing adalah
penggunaan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem seperti kegiatan
penangkapan dengan pemboman, penangkapan dengan menggunakan racun serta
penggunaan alat tangkap trawl pada daerah yang karang.
Pengertian
illegal fishing adalah kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan
yang tidak diatur oleh peraturan yang berlaku, aktifitasnya tidak dilaporkan
kepada suatu institusi atau lembaga perikanan yang tersedia/berwenang. Dapat
terjadi di semua kegiatan perikanan tangkap tanpa tergantung pada lokasi,
target species, alat tangkap yang digunakan dan exploitasi serta dapat muncul
di semua tipe perikanan baik skala kecil dan industri, perikanan di zona
jurisdiksi nasional maupun internasional.
Ilegal
fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh orang atau kapal
asing pada suatu perairan yang menjadi jurisdiksi suatu negara tanpa izin dari
negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. yang bertentangan dengan peraturan nasinal yang berlaku atau kewajiban
internasional.Yang dilakukan oleh kapal mengibarkan bendera suatu negara yang
menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional tetapi beroperasi
tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh
organisasi tersebut atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Pengertian
Illegal Fishing merujuk kepada pengertian yang dikeluarkan oleh International
Plan of Action (IPOA) – Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing yang
diprakarsai oleh FAO dalam konteks implementasi Code of Conduct for Resposible
Fisheries (CCRF).
Kegiatan
Ilegal Fishing di Indonesia
Kegiatan
Illegal Fishing yang paling sering terjadi di wilayah pengelolaan perikanan
Indonesia adalah pencurian ikan oleh kapal-kapal ikan asing (KIA) yang berasal
dari beberapa negara tetangga (neighboring countries). Walaupun sulit untuk
memetakan dan mengestimasi tingkat illegal fishing yang terjadi di WPP-RI,
namun dari hasil pengawasan yang dilakukan selama ini, (2005-2010) dapat disimpulkan
bahwa illegal fishing oleh KIA sebagian besar terjadi di ZEE (Exlusive Economic
Zone) dan juga cukup banyak terjadi di perairan kepulauan (archipelagic state).
Pada umumnya, Jenis alat tangkap yang digunakan oleh KIA atau kapal eks Asing
illegal di perairan Indonesia adalah alat-alat tangkap produktif seperti purse
seine dan trawl.Kegiatan illegal fishing juga dilakukan oleh kapal ikan
Indonesia (KII).
Beberapa
modus/jenis kegiatan illegal yang sering dilakukan KII, antara lain:
penangkapan ikan tanpa izin (Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI) maupun Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan (SIKPI)),
memiliki izin tapi melanggar ketentuan sebagaimana ditetapkan (pelanggaran
daerah penangkapan ikan, pelanggaran alat tangkap, pelanggaran ketaatan
berpangkalan), pemalsuan/manipulasi dokumen (dokumen pengadaan, registrasi, dan
perizinan kapal), transshipment di laut, tidak mengaktifkan transmitter (khusus
bagi kapal-kapal yang diwajibkan memasang transmitter), dan penangkapan ikan
yang merusak (destructive fishing) dengan menggunakan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang
membahayakan melestarikan sumberdaya ikan.
Faktor
Penyebab Terjadinya Ilegal Fishing
Yang
menyebabkan terjadinya Illegal fishing di perairan Indonesia tidak terlepas
dari lingkungan strategis global terutama kondisi perikanan di negara lain yang
memiliki perbatasan laut, dan sistem pengelolaan perikanan di Indonesia itu
sendiri. Secara garis besar faktor penyebab tersebut dapat dikategorikan
menjadi 7 (tujuh) faktor, sebagaimana diuraikan di bawah ini :
Pertama,
Kebutuhan ikan dunia (demand) meningkat, disisi lain pasokan ikan dunia
menurun, terjadi overdemand terutama jenis ikan dari laut seperti Tuna. Hal ini
mendorong armada perikanan dunia berburu ikan di manapun dengan cara legal atau
illegal.
Kedua,
Disparitas (perbedaan) harga ikan segar utuh (whole fish) di negara lain
dibandingkan di Indonesia cukup tinggi sehingga membuat masih adanya surplus
pendapatan.
Ketiga,
Fishing ground di negara-negara lain sudah mulai habis, sementara di Indonesia
masih menjanjikan, padahal mereka harus mempertahankan pasokan ikan untuk
konsumsi mereka dan harus mempertahankan produksi pengolahan di negara tersebut
tetap bertahan.
Keempat,
Laut Indonesia sangat luas dan terbuka, di sisi lain kemampuan pengawasan
khususnya armada pengawasan nasional (kapal pengawas) masih sangat terbatas
dibandingkan kebutuhan untuk mengawasai daerah rawan. Luasnya wilayah laut yang
menjadi yurisdiksi Indonesia dan kenyataan masih sangat terbukanya ZEE
Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas (High Seas) telah menjadi magnet
penarik masuknya kapal-kapal ikan asing maupun lokal untuk melakukan illegal
fishing.
Kelima,
Sistem pengelolaan perikanan dalam bentuk sistem perizinan saat ini bersifat
terbuka (open acces), pembatasannya hanya terbatas pada alat tangkap (input
restriction). Hal ini kurang cocok jika dihadapkan pada kondisi faktual
geografi Indonesia, khususnya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas.
Keenam,
Masih terbatasnya sarana dan prasarana pengawasan serta SDM pengawasan
khususnya dari sisi kuantitas. Sebagai gambaran, sampai dengan tahun 2008, baru
terdapat 578 Penyidik Perikanan (PPNS Perikanan) dan 340 ABK (Anak Buah Kapal)
Kapal Pengawas Perikanan. Jumlah tersebut, tentunya sangat belum sebanding
dengan cakupan luas wilayah laut yang harus diawasi. Hal ini, lebih diperparah
dengan keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan.
Ketujuh,
Persepsi dan langkah kerjasama aparat penegak hukum masih dalam penanganan
perkara tindak pidana perikanan masih belum solid, terutama dalam hal pemahaman
tindakan hukum, dan komitmen operasi kapal pengawas di ZEE.
Kegiatan
Illegal Fishing di WPP-RI telah mengakibatkan kerugian yang besar bagi
Indonesia. Overfising, overcapacity, ancaman terhadap kelestarian sumberdaya
ikan, iklim usaha perikanan yang tidak kondusif, melemahnya daya saing
perusahaan dan termarjinalkannya nelayan merupakan dampak nyata dari kegiatan
IUU fishing. Kerugian lain yang tidak dapat di nilai secara materil namun
sangat terkait dengan harga diri bangsa, adalah rusaknya citra Indonesia pada
kancah International karena dianggap tidak mampu untuk mengelola perikanannya
dengan baik.
Penyebab
Ilegal Fishing di Indonesia
Mengatur
tentang perikanan dan segala tindak pidananya bagi yang melanggar, para pelaku
illegal fishing masih terus melanjukan aksinya. Jika ditinjau kembali, ada
banyak factor yang menyebabkan hal itu tejadi.
Salah
satu diantaranya adalah kurang jelas dan tegasnya isi dari UU nomor 31 Tahun
2004 yang mengatur tentang Perikanan. Dapat dilihat pada Pasal 8 dan 9 dimana
pelanggaran alat tangkap dan fishing ground hanya dimasukkan dalam kategori
pelanggaran dengan denda hanya Rp 250 juta. Hal semacam itu, seharusnya masuk
kategori pidana dengan sanksi lebih berat. Penguatan aspek legal itu terkait
dengan tingginya tingkat pencurian ikan di perairan Indonesia oleh kapal-kapal
asing.
Beberapa
pasal yang dianggap “abu-abu” menyangkut pidana dan pelanggran pada penggunaan
alat tangkap dari UU Perikanan seperti pasal 85 dan 100. Pasal 29 dan 30
tentang Perikanan kurang memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional
terhadap pengelolaan sumber daya laut. Dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perikanan
tersebut disebutkan bahwa usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan RI
hanya boleh dilakukan oleh warga negara RI atau badan hukum Indonesia.
Sementara dalam ayat (2) disebutkan pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang
melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut
kewajiban negara RI berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum
internasional yang berlaku. Pasal 29 UU Perikanan tersebut dapat menimbulkan
persaingan internal (perang) antar para nelayan Indonesia sendiri, karena
semakin sedikitnya wilayah mereka untuk mencari ikan.
Selain
factor perundang-undangan, ada beberapa factor lain yang menyebabkan para
pelaku IF terus beraksi. Diantaranya :
- Minimnya
sarana, prasarana dan biaya operasional penyidik perikanan dalam
menangani kasus-kasus illegal fishing.
- Tidak
adanya dermaga yang disediakan khusus untuk tambat labuh Kapal Ikan Asing yang
ditangkap, sehingga mereka ditempatkan di dermaga Pangkalan Pendaratan Ikan
(PPI) yang ada sehingga mempengaruhi aktivitas rutin pangkalan/dermaga
tersebut.
- Belum
tersedianya tempat yang secara khusus untuk menampung Anak Buah Kapal asing non
yustisia selama menunggu pelaksanaan deportasi, sehingga mereka ditempatkan di
lokasi yang terbuka dan kondisi ini dapat mengakibatkan larinya mereka karena
sulitnya pengawasan.
- Lamanya
penahanan Anak Buah Kapal asing menimbulkan masalah sosial di kalangan
masyarakat setempat dan petugas, seperti kekhawatiran akan terjangkitnya
penyakit berbahaya yang dapat ditularkan oleh mereka
- Daerah
tidak memiliki dana yang cukup untuk biaya jatah hidup mereka selama penahanan
dan tidak memiliki biaya untuk mendeportasikan mereka asing ke negara asal.
Pelaksanaan
deportasi Anak Buah Kapal warga negara asing sampai saat ini belum sepenuhnya
dilakukan oleh kantor Imigrasi selaku instansi yang berwenang, sehingga menjadi
tanggung jawab instansi yang menangani kasus (Dinas Kelautan dan Perikanan
Prov. Kalbar, LANAL pontianak POL AIR POLDA Kalbar dan PPN Pemangkat).
Signal
berupa rambu hukum yang ada ternyata tidak menyurutkan langkah pelaku illegal
fishing dan berusaha menghindari jeratan hukum dan segera menerbitkan perturan
yang dapat dipedomani dalam penyelesaian masalah yang bersinggungan dengan
illegal fishing. Oleh karena itu perlu bagi pemerintah untuk merubah isi
undang-undang perikanan tersebut dan mulai menetapkan hukum yang tegas agar
para nelayan Indonesia tidak menderita.
Kebijakan
Nasional masalah Ilegal Fishing
Perikanan
merupakan salah satu mata pencaharian penduduk Indonesia yang sebagian tinggal
di pesisir pantai. Sehingga banyak orang yang bergantung pada bidang ini. UU
nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dibuat demi pelaksanaan penegakan hukum
di bidang perikanan dan dapat memberikan kejelasan dan kepastian atas segala
tindak pidana dan untuk mendorong percepatan dinamika pembangunan yang menganut
azas pengelolaan perikanan bertanggung jawab.
Bab
XIII Pengadilan Perikanan, pasal 71 ayat (1) menyatakan : “ Dengan
Undang-undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutuskan tindak pidana di bidang perikanan” merupakan indikator
keseriusan pemerintah menangani pelanggaran perikanan. Hal ini menuntut
kesiapan penegak hukum Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Perwira TNI AL, dan
Pejabat PORLI bekoordinasi lebih intens lagi menangani tindak pidana di bidang
perikanan. Pengadilan perikanan bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan
tindak pidana perikanan oleh majelis hakim. Semua sudah tercantum dalam Bab XV
Ketentuan Pidana , termasuk denda seperti tercantum pada pasal 84-105, bahwa
setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan RI melakukan
penangkapan ikan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak,
alat/cara yang dapat merugikan/membahayakan kelestarian sumber daya ikan atau
lingkungannya, pidana dengan hukuman penjara maupun didenda. Termasuk nahkoda
kapal, ahli penangkapan, dan anak buah kapal, demikian pula dengan pemilik
kapal perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan maupun operator kapal.
Meskipun
sudah ada sanksi hukumnya, masih saja ada orang ataupun sekelompok orang yang
menyalahi aturan hukum itu sendiri. Tidak hanya di Indonesia, di beberapa
Kawasan Negara Asia Pasifik juga terjadi hal yang sama. Illegal Fishing aau
Unregulaed Fishing (IUU Fishing) merupakan salah satu bentuk penyalahan aturan
terhadap UU perikanan yang marak terjadi di Indonesia dan beberapa negara di
Asia-Pasifik. Merupakan kegiatan perikanan yang tidak dilaporkan kepada suatu
institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia. IUU Fishing dapat
terjadi di semua kegiaan perikanan tangkap tanpa tergantung pada lokasi, target
spesies, alat tangkap yang digunakan dan eksploitasi, serta dapat muncul di
semua tipe perikanan baik skala kecil dan industri, perikanan di zona juridiksi
nasional maupun internasional. Di tiap tahunnya Departemen Kelautan dan Perikanan
mencatat kerugian 31 M per tahunnya.
Pasal
26 ayat (1): Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan,
pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan dan pemasaran ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIUP.
Pasal
26 ayat (2): Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak
berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudidaya ikan kecil.
Pasal
27ayat (1): Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kappa lpenangkap
ikan berbendera Indonesia yang dipergunakan untu kmelakukan penangkapan ikan di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib
memiliki SIPI.
Pasal
27ayat (2): Setiap orang yang memiliki dan/atau pengoperasikan kapal penangkap
ikan berbendera asing yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan di
wilayah pengelolaan perikananRepublik Indonesia wajib memiliki SIPI.
Pasal
27ayat (3): SIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri.
Pasal
27ayat (4): Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan
penangkapan ikan di wilayah yurisdiksi negara lain harus terlebih dahulu
mendapatkan persetujuan dari Pemerintah.
Pasal
93 ayat (1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap
ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikandi wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
Pasal
104 ayat (2) Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang
dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuknegara.
Kerugian
Ilegal Fishing
Kegiatan
Illegal Fishing di WPP-RI telah mengakibatkan kerugian yang besar bagi
Indonesia. Overfising, overcapacity, ancaman terhadap kelestarian sumberdaya
ikan, iklim usaha perikanan yang tidak kondusif, melemahnya daya saing
perusahaan dan termarjinalkannya nelayan merupakan dampak nyata dari kegiatan
IUU fishing. Kerugian lain yang tidak dapat di nilai secara materil namun
sangat terkait dengan harga diri bangsa, adalah rusaknya citra Indonesia pada
kancah International karena dianggap tidak mampu untuk mengelola perikanannya
dengan baik.
Untuk
dapat mengetahui, kerugian materil yang diakibatkan oleh Illegal fishing perlu
ditetapkan angka asumsi dasar antara lain: diperkirakan jumlah kapal asing dan
eks asing yang melakukan IUU fishing sekitar 1000 kapal, ikan yang dicuri dari
kegiatan IUU fishing dan dibuang (discarded) sebesar 25% dari stok (estimasi
FAO, 2001). Dengan asumsi tersebut, jika MSY(maximum sustainable yield =
tangkapan lestari maksimum) ikan = 6,4 juta ton/th, maka yang hilang dicuri dan
dibuang sekitar 1,6 juta ton/th. Jika harga jual ikan di luar negeri rata-rata
2 USD/Kg, maka kerugian per tahun bisa mencapai Rp 30 trilyun.
Langkah-langkah
untuk mengatasi illegal fishing di antaranya :
Perbaikan
regulasi atau pengaturan terhadap kapal-kapal asing. Diupayakan ada penegakan
hukum yang lebih baik sehingga dapat menimbulkan
efek jera terhadap kapal illegal fishing.
Patroli oleh
penegak hukum di Indonesia dengan serius dan secara terus menerus. Apabila hal
ini dilakukan maka kesejateraan nelayan kecil akan meningkat. Menurut
pengalaman, kata sekjen DKP : dengan adanya operasi di laut Natuna , pendapatan
nelayan kita mejadi dua sampai tiga kali lipat dibandingkan sebelum adanya
operasi. Ikan –ikan besar yang ditangkap nelayan asing sebelum adanya operasi, sekarang
bisa ditangkap oleh nelayan kita.
Harus ada
penguatan terhadap armada penangkapan ikan nasional. Terutama di bidang
pengadaan kapal yang lebih besar dan teknologi yang lebih maju. Lemahnya
nelayan di bidang permodalan menyebabkan nelayan tidak bisa berkembang.
Diharapkan ada bank yang mau membantu nelayan dalam bidang permodalan. Tentunya
dalam hal ini pemerintah bisa membantu dengan mengeluarkan peraturan kepada
bank untuk mau terjun ke sector nelayan.
Mencukupi
kebutuhan dasar nelayan di antaranya BBM.
Sarana dan
prasarana : adanya tempat pendaratan ikan, tempat pelelangan ikan, cold storage.
Apabila kebutuhan nelayan dapat dipenuhi dengan mudah secara otomatis
kesejahteraan nelayan akan meningkat, sehingga bisa mengadakan ekspansi
usahanya.
Diadakan upaya
penyadaran terhadap nelayan kita agar tidak menggunakan alat-alat tangkap ikan
yang bisa merusak ekologi dan bisa merusak siklus kehidupan ikan, sehingga
sumber penghidupan nelayan bisa tetap terjaga.
Pencegahan
Berdasarkan
permasalah yang ada maka dalam perumusan kebijakan mengenai Ilegal
Fishing hendaklah memasukkan empat langkah yang bisa digunakan untuk
menanggulangi pencurian ikan oleh kapal asing (illegal fishing) yaitu
dengan mengatur masalah perizinan, pengawasan, penegakan hukum di laut dan
peningkatan ekonomi nelayan. Selain itu juga konsep kebijakan yang baru harus
melihat secara komprehensif dari berbagai aspek antara lain masalah kedaulatan,
keamanan, ekonomi dan citra sebagai bangsa yang besar. Ada beberapa solusi yang
dapat diajukan sebagai alternatif dalam pemuatan perumusan kebijakan model
Normatif yaitu perlunya penguatan sistem penegak hukum dengan membentuk semacam
Badan Keamanan Laut yang merupakan gabungan dari berbagai instansi digabung
menjadi satu, dibawah satu organisasi dan satu komando pengendalian. Badan ini
menangani keamanan laut non militer, sedangkan fungsi pertahanan di laut tetap
menjadi tugas pokok TNI AL. Perlu juga mengadakan pemutihan kapal-kapal ilegal
untuk diberikan ijin, terutama pada kapal-kapal yang jelas identitasnya. Dengan
pemberian ijin secara sah, maka semua kegiatannya akan termonitor dan terkendalikan
serta dapat diketahui stok ikan sebenarnya. Pemerintah juga memperbaiki
manajemen perikanan dengan menerapkan pengaturan musim penangkapan untuk
jenis-jenis tertentu dan menetapkan daerah-daerah “sanctuary” untuk menjamin
kelestarian. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah perbaikan regulasi dan
kebijakan yang semula pendekatannya “input restriction” atau
pembatasan input menjadi “output restriction” atau pendekatan output,
terutama untuk jenis Tuna dan Udang. Dengan pendekatan tersebut mekanisme
perijinan lebih sederhana dan mudah pengawasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Mukhtar.
2012. Pengertian Ilegan fishing. http://mukhtar-api.blogspot.com/2011/05/illegal-fishing-di-indonesia.html
Astekita. 2012.
Sejarah Ilegan Fishing http://astekita.wordpress.com/2011/04/06/illegal-fishing/
Fiqrin. 2012.
Pengertian alat tangkap. http://fiqrin.wordpress.com/artikel-tentang-ikan/alat-tangkap-trawl/
Coremap. 2012.
Solusi Ilegal Fishing http://regional.coremap.or.id/downloads/Materi_Illegal-fishing&solusinya.pdf
Zahudin K. 2012.
Alat tangkap http://alattangkap.blogspot.com/2010/10/trawl.html
Adi P. 2012.
Dampak Alat tangkap. http://sentikoadipermana-pelaut.blogspot.com/2010/11/alat-tangkap-trawl.html
Baharudin. 2012
Solusi alat tangkap.
http://desasejahtera.org/artikel/131-legalisasi-trawl-di-perbatasan-kalimantan-timur-bagian-utara-merugikan-nelayan-dan-lingkungan.html
1 komentar:
gila, lengkap banget.. makasih makasih.. jadi kelar juga neh tugas.. :)
Posting Komentar