Pendahuluan
Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang
unik merupakan sumberdaya alam yang sangat potensial. Ekosistem tersebut
mendukung eksistensi keanekaragaman flora dan fauna terestrial dan aquatik yang
secara langsung maupun tidak langsung berperan penting bagi kelangsungan hidup
manusia, baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan. Begitu pentingnya
ekosistem ini, sehingga menarik perhatian berbagai negara di dunia. Hal itu
terbukti dengan terbentuknya International
Society for Mangrove Ecosystems (ISME) yang berkedudukan di Okinawa,
Jepang. Lembaga ini sudah mengusulkan ”Chapter
for Mangrove” yang merupakan pelengkap bagi ”World Chapter for Nature” yang dicanangkan oleh PBB pada tanggal 28
Oktober 1982 (Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1993).
Total
luas kawasan mangrove di Indonesia adalah lebih dari 4,5 juta ha, merupakan
kawasan mangrove terluas di dunia yaitu sekitar lebih dari 23 %, kemudian
diikuti oleh Brazil (ISME 1992 dalam Menteri Negara Lingkungan Hidup,
1993; Spalding dkk, 1997). Namun demikian data luas hutan mangrove di Indonesia sangat bervariasi. Menurut
Departemen Kehutanan tahun 1982 luasnya 4,251 juta ha, yang menyebar di
Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Irian.
Pada akhir tahun 1980-an, Indonesia telah kehilangan sekitar 40 % areal
mangrovenya, sehingga luas kawasan tersebut menjadi 2,49 juta ha (Noor et
al., 1999). Setelah itu terjadi fluktuasi, menurut RePPPRoT tahun 1989 luas
hutan mangrove 3.523.600 ha. Menurut data INTAG tahun 1993 luas hutan mangrove
3.393.620 ha. Menurut data Ditjen RLPS Departemen Kehutanan tahun 1999, luas
potensial yang perhitungannya didasarkan pada sebaran sistem lahan potensial
untuk ditumbuhi mangrove adalah seluas 9.200.000 ha, luasan tersebut terdiri
dari kawasan hutan 3.700.000 ha dan non kawasan hutan 5.500.000 ha (Direktorat Bina
Pesisir, 2004).
Batasan
Kata mangrove berasal dari kombinasi kata
mangue (Portugal) atau mangle (Spanyol) yang berarti pohon serta grove
(Inggris) untuk menyebut tegakan pohon-pohon (Macnae, 1968) atau
berasal dari bahasa Melayu mangi-mangi, yang merupakan sebutan lokal Indonesia bagian timur untuk genus Avicennia (Mastaller, 1997). Selanjutnya istilah mangrove memiliki makna ganda yang berbeda, yaitu
sebagai individu dari spesies vegetasi (semai, anakan, pohon muda dan pohon)
serta sebagai kelompok vegetasi yang terdiri atas banyak spesies, sehingga
mangrove dapat diartikan sebagai sekelompok vegetasi yang terdiri dari berbagai
spesies dari genus yang berbeda-beda namun memiliki kesamaan adaptasi fisiologi
dan morfologi terhadap kondisi habitat yang dipengaruhi oleh fenomena pasang
surut air laut dan masukan air tawar. Oleh karena itu, istilah mangrove lebih
merupakan istilah ekologi, sehingga penggunaan istilah hutan bakau untuk
menggambarkan ekosistem mangrove tidak tepat sebab bakau merupakan nama local /
daerah salah satu jenis mangrove dari famili Rhizopora.
Hutan
yang terdapat di rawa payau disebut vloedbosh (Went, 1892), disebut hutan bakau
(Wojowasito, 1971; Poerwodarminto, 1976). Hutan
mangrove merupakan formasi
tumbuhan daerah litoral di pantai tropis dan sub-tropis (Saenger, 1983) atau
komunitas tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut (Tomlinson, 1986 dan
Wightman, 1989). Hutan mangrove atau mangal adalah sebutan yang digunakan untuk
menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropic yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon atau semak khas yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh di
perairan asin, yang secara teratur digenangi oleh air laut serta
dipengaruhi pasang surut. Komunitas ini dicirikan oleh tanaman bakau (Rhizophora sp.) api-api (Avicenia
sp.), prepat (Sonneratia sp.) dan
tunjang (Bruguiera sp.) (Nybakken,
1988). Di Indonesia, kawasan tersebut ditumbuhi oleh vegetasi mangrove dengan
keanekaragaman yang sangat tinggi, yaitu sebanyak 202 jenis vegetasi, yang
terdiri dari 89 macam pohon, 5 macam palem, 19 macam liana, 44 macam epifit dan
1 macam sikas. Untuk vegetasi mangrove sendiri hanya terdiri dari 47
spesies (12 genus vegetasi berbunga, 8 famili). Vegetasi yang
penting dan dominan adalah Aegiatilis, Aegiceras, Avicennia,
Bruguiera, Ceriops, Conocarpus, Laguncularia, Lutmnitzera,
Rhizophora, Snaeda, Sonneratia dan Xylocarpus.
Vegetasi mangrove bekembang dengan baik di kawasan pantai
tropis, yaitu daerah yang terlindung dari gerakan gelombang, perairan dangkal,
daerah pasang surut dan estuari. Secara geografis penyebaran ekosistem mangrove
lebih luas daripada ekosistem terumbu karang, yaitu sampai di pantai utara
Teluk Mexico, sepanjang pantai barat dari bagian tengah dan utara Amerika Utara
dan Afrika, sebelah selatan pulau paling utara di Selandia Baru. Menembus
bagian hulu sepanjang tebing Sungai Fly (300 km) di Nugini (McNae, 1968).
Karakteristik
Schimper (1898)
menganggap bahwa hutan mangrove sebagai komunitas vegetasi xerofil yang secara fisiologis habitatnya kering karena kadar garam
yang tinggi. Steenis (1958) mengemukakan bahwa faktor utama yang mengakibatkan
adanya ecological preference berbagai
jenis organisme adalah kombinsi faktor-faktor:
- Tipe tanah: keras atau
lembek, kandungan pasir dan liat dalam berbagai perbandingan..
- Salinitas: variasi harian
dan nilai rata-rata per tahun secara kasar sebanding dengan frekuensi,
kedalaman dan jangka waktu genangan.
- Ketahanan
jenis terhadap arus dan ombak.
- Kondisi
perkecambahan dan pertumbuhan semai dalam hubungannya dengan amplitudo ekologi
jenis-jenis terhadap tiga faktor di atas.
Watson
(1928) mengemukakan adanya korelasi antara jenis vegetasi dengan tinggi pasang
dan lamanya penggenangan.
Kelas 1. digenangi setiap air pasang (all high tide), genangan 56 – 62
kali/bulan. Di tempat ini jarang ada jenis yang dapat hidup, kecuali R, mucronata yang tumbuh di tepi sungai.
Kelas 2. digenangi air pasang agak besar (medium high tide). Di tempat
ini tumbuh Avicennia dan Sonneratia, berbatasan dengan sungai R. mucronata dominan.
Kelas 3. digenangi oleh air pasang rata-rata (normal high tide). Tempat ini mencakup
sebagian besar hutan bakau yang ditumbuhi oleh R.mucronata, R. apiculata, Ceriops tagal dan Bruguiera parviflora.
Kelas 4. digenangi oleh pasang perbani (spring tide). Di tempat
ini Rhizophora diganti oleh Bruguiera. Pada lumpur yang keras Bruguiera cylindrica membentuk tegakan
murni dan di tempat dengan drainase lebih baik tumbuh B.parviflora kadang-kadang dengan B. sexangula.
Kelas 5. kadang-kadang digenangi oleh paang tertinggi (exceptional or equinoctial tides). Di
tempat ini B. gymnorhiza berkembang
dengan baik, sering bersama pakis dan kadang-kadang R. apiculata. Ke arah darat ditumbuhi tegakan Oncosperma filamentosa.
Penyebaran
Di
pantai yang terlindung dari gerakan gelombang (berkembang baik di estuari
tropis), perairan dangkal, daerah intertidal, daerah dengan curah hujan tinggi
atau ada aliran air sungai yang menyediakan air tawar.
Secara
geografis penyebarannya lebih luas daripada terumbu karnag, yaitu sampai di pantai
utara Teluk Mexico, sepanjang pantai barat dari bagian tengah dan utara Amerika
Utara dan Afrika, sebelah selatan pulau paling utara di Selandia Baru. Menembus
bagian hulu sepanjang tebing Sungai Fly (300 km) di Nugini (McNae, 1968), tidak
terdapat pada atoll dan pulau yang terisolasi seperti Hawai (bakau masuk Hawai
pada tahun 1902).
Habitat Mangrove
Komunitas
mangrove tumbuh dan berkembang di habitat dengan karakteristik (1) kawasan
pasang surut dengan substrat berupa lumpur, lempung dan / atau pasir, (2)
tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada
saat pasang purnama. Frekuensi genangan ini menentukan komposisi vegetasi hutan
mangrove, (3) menerima pasokan air tawar yang cukup dari daratan, (4)
terlindung dari gelombang besar dan arus pasang yang kuat, (5) salinitas payau
(2 – 22 ‰) sampai asin (38 ‰).
Kondisi
fisik habitat mangrove mempunyai ciri (1) gerakan air
minimal menyebabkan partikel endapan halus cenderung mengendap dan
terkumpul di dasar, maka terbentuk
lumpur yang mengandung banyak bakteri dalam kondisi anaerobic, (2) tanah dengan
oksigen rendah, kadar garam dan kandungan organik tinggi.
Untuk
mengahadapi habitat yang khas tesebut, vegetasi mangrove mengembangkan pola
adaptasi yang khas pula:
- Adaptasi terhadap
substrat yang kurang stabil dan gerakan pasang surut, vegetasi ini
mengembangkan struktur akar yang ekstensif dan membentuk jaringan horizontal
yang lebar.
- Adaptasi terhadap kadar
oksigen subtrat yang rendah, vegetasi ini mempunyai akar dangkal memanjang ke
permukaan substrat, yang memugkinkan mendapat oksigen dari lumpur anoksik.
Contoh Avicennia, Bruguiera berakar
cakar ayam dengan pneumatofora, Rhizophora
berakar tongkat / penyangga dengan lentisel, Bruguiera berakar lutut, Ceriops
decandara, C. tagal, Heritiera littoralis, Xylocarpus granatum berakar
papan (Gambar 1).
- Adaptasi terhadap kadar
garam tinggi, maka daunnya (a) tebal dan kuat, mengandung banyak air, untuk
mengatur keseimbangan garam, (b) memiliki struktur stomata khusus untuk
mengurangi penguapan, (c) mempunyai sel khusus untuk menyimpan garam, (d)
beberapa vegetasi mangrove mempunyai kelenjar garam yang menolong menjaga
keseimbangan osmotik dengan mengeluarkan garam.
Pola
perakaran mangrove yang pada dasarnya merupakan bentuk adaptasi terhadap
habitatnya, lebih jauh menyebabkan habitat di ekosistem tersebut semakin
berbeda dengan kawasan pantai yang tidak ditumbuhi oleh vegetasi mangrove.
Perakaran yang rapat menyebabkan gerakan air akibat kekuatan gelombang maupun
pasang surut dapat diredam, sehingga partikel endapan yang dibawa air akan
cenderung mengendap dan terkumpul di dasar, maka terbentuk endapan lumpur yang
mengandung banyak bahan organik dan bakteri dalam kondisi oksigen rendah atau
anaerobik.
Zonasi
Komunitas Mangrove
Ditinjau dari sifat
biologi spesiesnya, secara umum vegetasi mangrove dapat membentuk zonasi,
meskipun zonasi ini tidak bersifat univesal, karena karakteristik habitat alami
tidak seragam (teratur). Zonasi dimulai dari arah laut ke daratan (1) Sonneratia
merupakan spesies yang toleran terhadap subtrat berpasir dan selalu tergenang
ar laut, (2) Avicennia toleran terhadap substrat agak berpasir, benih
tidak dapat tumbuh sehat di habitat yang terlindung dengan kandungan lumpur
yang tebal, (3) Rhizophora toleran di zona pasang surut dengan substrat
lumpur, (4) Bruguiera toleran di daerah pasang tertinggi dengan endapan
liat yang agak mengeras. Ceriops berupa semak-semak kecil, umumnya
bergabung dengan Bruguiera, dan (5) Nypa fruticans merupakan
vegetasi pantai yang tumbuh di zona transisi antara habitat mangrove
dengan hutan dataran rendah.
Daur
Hidup Mangrove
Daur hidup vegetasi mangrove sangat dipengaruhi oleh
gerakan air dan kondisi substrat tempat tumbuh. Contoh daur hidup Rhizophora
dan Bruguiera (Gambar 3) adalah sebagai berikut: Benih akan
berkecambah ketika masih di vegetasi induk, semaian ini terus memanjang dan
semakin berat, kemudian telepas dan jatuh. Semaian yang jatuh dapat langsung
menancap di substrat lumpur atau mengapung terbawa gerakan air. Jika semaian
yang terbawa oleh gerakan air ini sampai di pantai yang dangkal dan substratnya
cocok untuk tumbuh, maka ujung akar akan menancap dan secara bertahap tumbuh
menjadi pohon.
Fauna
yang Berasosiasi
Ekosistem mangrove banyak
dihuni oleh berbagai macam fauna. Fauna tersebut terdiri dari fauna terestrial
dan fauna akuatik.
Fauna terestrial
menempati bagian atas vegetasi mangrove antara lain insekta, ular, primata dan
burung.
Fauna akuatik ada yang
hidup di kolom air contohnya :
- Ikan belanak (Mugil
cephalus), yang
memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai tempat pembesaran.
- Ikan blodok atau mud
skipper (Periopthalmus), yang
memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai tempat hidup dan berkembang biak,
dengan cara membuat lubang, dan berjalan di lumpur serta mendaki akar mangrove.
Untuk hidup di zona pasang surut yang berlumpur ikan ini
mengembangkan pola adaptasi yang khas, antara lain (1) sirip dada kuat untuk
berjalan, merangkak, melompat, (2) mata
tinggi di kepala, membentuk fokus yang baik di udara, tetapi tidak baik di air,
jika berenang mata menonjol ke permukaan, (3) sistem pernafasan dengan insang
yang mengalami reduksi, tetapi disempurnakan dengan bervaskularisasi di rongga
mulut dan ruangan insang.
- Udang Penaeid memanfaatkan sebagai tempat pembesaran, udang Upogebia
danThalassima memanfaatkannya
sebagai tempat hidup dengan cara membuat lubang di substrat dasar.
- Fauna
akuatik yang hidup di substrat keras seperti akar dan batang mangrove,
contohnya gastropoda (Littorinidae), bivalva (tiram).
- Fauna
akuatik yang hidup di substrat lunak seperti lumpur, contohnya gastropoda
(Ellobiidae dan Potamididae), dekapoda (kepiting laga Uca, kepiting
darat tropic Cardisoma, kepiting hantu Dotila dan Cleistostoma,
kepiting bakau Scylla serata), dan kerang. Kepiting hidup dengan cara
membuat lubang di substrat lunak. Fungsi lubang sebagai tempat perlindungan,
berkembang biak, bantuan mencari makan. Manfaat lubang ini bagi pohon bakau
dapat menyediakan oksigen di endapan, sehingga dapat mengurangi kondisi
anoksik. Organisme ini memakan detritus (memisahkan partikel detritus dari
anorganik dengan cara menyaring substrat melalui sekumpulan rambut di
sekeliling mulut).
Rantai
Makanan
Rantai makanan di
ekosistem mangrove berbeda dengan rantai makanan yang ekosistem perairan
lainnya. Umumnya di ekosistem perairan rantai makanan diawali oleh autotrof
berupa fitoplankton atau tanaman air, yang memanfaatkan nutrien anorganik
dengan bantuan sinar matahari membentuk bahan organik. Di ekosistem mangrove
rantai makanan diawali oleh guguran vegetasi mangrove yang disebut seresah,
terdiri dari daun, ranting, buah, batang. Seresah ini sebagian langsung
dikonsumsi oleh ikan, udang, kepiting dan gastropoda. Sebagian dan ditambah
sisa metabolisme organisme pemangsa tersebut, didekomposisi oleh bakteri dan
fungi menjadi nutrien terlarut. Nutrien hasil dekomposisi ini kemudian
dimanfaatkan oleh mangrove sendiri, atau fitoplankton yang berada di perairan
laut terbuka.
Kerusakan Ekosistem Mangrove
Kerusakan ekosistem
mangrove dapat diakibatkan oleh (1) overeksploitasi oleh pengguna tradisional,
(2) konversi untuk akuakultur, agrikultur, tambak garam, (3) pengembangan kota,
(4) kontruksi pelabuhan dan saluran, (5) tempat pembuangan sampah/limbah padat
dan cair, (6) tumpahan oli dan bahan kimia berbahaya, (7) angin topan dan
tsunami.
Kematian vegetasi
mangrove dapat dikibatkan oleh (1) aktivitas isopoda kecil Sphaeroma terebrans, yang dapat merusak akar dengan cara
melubanginya, (2) manusia karena herbisida, penimbunan, penggalian, pembuatan
saluran air, kolam, tambak, produksi garam.
Pengelolaan
Ekosistem Mangrove
Kawasan pantai dan
hutannya merupakan daerah penyangga antara ekosistem darat dan laut, juga
merupakan salah satu sumberdaya alam yang berguna bagi kehidupan manusia.
Itulah sebabnya sumberdaya hutan pantai (mangrove) perlu dilindungi dan
dilestarikan. Sesuai dengan Keputusan Presiden No.32 tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung maka diperlukan suatu usaha untuk mengetahui
formasi mangrove sebagai kawasan perlindungan, pengawetan dan reklamasi. Untuk
kawasan mangrove yang sudah terlanjur diesploitasi maka perlu dilakukan
penghijauan kembali (regreening), secara nasional program ini telah dicanangkan
sejak tahun 1993, namun lebih banyak mengarah pada penghijauan hutan-hutan
darat dan taman hutan kota.
Jalur
hijau
Jalur
hijau lebarnya masih belum standar, antar lembaga pemerintah berbeda dalam
menetapkan kawasan tersebut:
- Dirjen Perikanan
mengharuskan 400 m dari pasang terendah.
- Dirjen
kehutanan mengharuskan minimal 50 m dari garis pantai (1984).
- SKB
Mentan & Menhut mengharuskan minimal 200 m (1984).
- Biotrop mensyaratkan 250 – 752 m.
- Keppres No.32/1990 mengharuskan minimal 130 x nilai rata-rata
perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut
terendah ke arah darat.
Manajemen
dan Konservasi
Pengelolaan
hutan mangrove secara lestari harus memasukkan konsep konservasi. Konservasi
diartikan sebagai manajemen pemanfaatan biosfer oleh manusia secara sustainable
untuk generasi sekarang, dengan mempertahankan potensinya untuk memenuhi
kebutuhan dan aspirasi generasi yang akan datang. Kegiatan konservasi ini
meliputi pemeliharaan, penjagaan, pemanfaatan, restorasi, dan perbaikan
lingkungan alami.
Tujuan Konservasi
Mempertahankan proses
ekologis dan system yang mendukung kehidupan.
Memelihara diversitas
genetic.
Menjamin
pemanfaatan spesies dan ekosistem secara lestari.
Rumusan untuk mencapai
tujuan
Zonasi berdasarkan
pemanfaatan, langkah yang diambil:
Penyediaan peta kondisi,
dengan mempertimbangkan distribusi dan kualitas hutan mangrove, bentuk tanah,
pola drainase, pola arus, factor pendukung dan perusak.
Perencanaan zonasi
dikoordinasikan dengan rencana pengembangan kawasan pantai secara nasional.
Zonasi diuraikan berdasar
aktifitas:
Zona
konservasi berfungsi mempertahankan
diversitas genetik, penelitian, pendidikan, rekreasi, budaya, perlindungan
pantai dan habitat organisme.
Zona
manajemen berfungsi mendukung produksi kayu dan hasil perikanan lestari.
Zona
konversi berfungsi untuk akuakultur, tambak garam, agrikultur, pengembangan
kota, dan industri.
Reboisasi, perlu
mempertimbangkan pola pasut, kondisi tanah, biota penghalang, dan biologi
mangrove.
Sistem pemanfaatan
bersama.
Sistem manajemen terpadu
perikanan dan kehutanan, sistem tumpang sari atau silvo fishery dapat
menyelamatkan mangrove secara alami (kayu dapat dimanfaatkan) dan menyediakan
produk perikanan (ikan atau udang) secara trdisional.
Sistem
manajemen terpadu pertanian dan keehutanan.
Tambak garam.
Perumahan, pelabuhan, dan
industri.
Konservasi diperlukan
perangkat hukum, peraturan, pelaksanaan, sumberddaya manusia, sarana,
pengetahuan, pendidikan dan partisipasi masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar