Pages

Welcome in MY BLOG....!!Terima kasih sudah berkunjung dan semoga bermanfaat ^_^.

Senin, 01 Oktober 2012

EKOSISTEM MANGROVE Oleh Ir. Mulyanto, M.Si

Pendahuluan
Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang unik merupakan sumberdaya alam yang sangat potensial. Ekosistem tersebut mendukung eksistensi keanekaragaman flora dan fauna terestrial dan aquatik yang secara langsung maupun tidak langsung berperan penting bagi kelangsungan hidup manusia, baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan. Begitu pentingnya ekosistem ini, sehingga menarik perhatian berbagai negara di dunia. Hal itu terbukti dengan terbentuknya International Society for Mangrove Ecosystems (ISME) yang berkedudukan di Okinawa, Jepang. Lembaga ini sudah mengusulkan ”Chapter for Mangrove” yang merupakan pelengkap bagi ”World Chapter for Nature” yang dicanangkan oleh PBB pada tanggal 28 Oktober 1982 (Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1993).

Total luas kawasan mangrove di Indonesia adalah lebih dari 4,5 juta ha, merupakan kawasan mangrove terluas di dunia yaitu sekitar lebih dari 23 %, kemudian diikuti oleh Brazil (ISME 1992 dalam Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1993; Spalding dkk, 1997). Namun demikian data luas hutan mangrove di Indonesia sangat bervariasi. Menurut Departemen Kehutanan tahun 1982 luasnya 4,251 juta ha, yang menyebar di Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Irian. Pada akhir tahun 1980-an, Indonesia telah kehilangan sekitar 40 % areal mangrovenya, sehingga luas kawasan tersebut menjadi 2,49 juta ha (Noor et al., 1999). Setelah itu terjadi fluktuasi, menurut RePPPRoT tahun 1989 luas hutan mangrove 3.523.600 ha. Menurut data INTAG tahun 1993 luas hutan mangrove 3.393.620 ha. Menurut data Ditjen RLPS Departemen Kehutanan tahun 1999, luas potensial yang perhitungannya didasarkan pada sebaran sistem lahan potensial untuk ditumbuhi mangrove adalah seluas 9.200.000 ha, luasan tersebut terdiri dari kawasan hutan 3.700.000 ha dan non kawasan hutan 5.500.000 ha (Direktorat Bina Pesisir, 2004).

Batasan
Kata mangrove berasal dari kombinasi kata mangue (Portugal) atau mangle (Spanyol) yang berarti pohon serta grove (Inggris) untuk menyebut tegakan pohon-pohon (Macnae, 1968) atau berasal dari bahasa Melayu mangi-mangi, yang merupakan sebutan lokal Indonesia bagian timur untuk genus Avicennia (Mastaller, 1997). Selanjutnya istilah mangrove memiliki makna ganda yang berbeda, yaitu sebagai individu dari spesies vegetasi (semai, anakan, pohon muda dan pohon) serta sebagai kelompok vegetasi yang terdiri atas banyak spesies, sehingga mangrove dapat diartikan sebagai sekelompok vegetasi yang terdiri dari berbagai spesies dari genus yang berbeda-beda namun memiliki kesamaan adaptasi fisiologi dan morfologi terhadap kondisi habitat yang dipengaruhi oleh fenomena pasang surut air laut dan masukan air tawar. Oleh karena itu, istilah mangrove lebih merupakan istilah ekologi, sehingga penggunaan istilah hutan bakau untuk menggambarkan ekosistem mangrove tidak tepat sebab bakau merupakan nama local / daerah salah satu jenis mangrove dari famili Rhizopora.
 
Hutan yang terdapat di rawa payau disebut vloedbosh (Went, 1892), disebut hutan bakau (Wojowasito, 1971; Poerwodarminto, 1976). Hutan mangrove merupakan formasi tumbuhan daerah litoral di pantai tropis dan sub-tropis (Saenger, 1983) atau komunitas tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut (Tomlinson, 1986 dan Wightman, 1989). Hutan mangrove atau mangal adalah sebutan yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropic yang didominasi oleh beberapa spesies pohon atau semak khas yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh di perairan asin, yang secara teratur digenangi oleh air laut serta dipengaruhi pasang surut. Komunitas ini dicirikan oleh tanaman bakau (Rhizophora sp.) api-api (Avicenia sp.), prepat (Sonneratia sp.) dan tunjang (Bruguiera sp.) (Nybakken, 1988). Di Indonesia, kawasan tersebut ditumbuhi oleh vegetasi mangrove dengan keanekaragaman yang sangat tinggi, yaitu sebanyak 202 jenis vegetasi, yang terdiri dari 89 macam pohon, 5 macam palem, 19 macam liana, 44 macam epifit dan 1 macam sikas. Untuk vegetasi mangrove sendiri hanya terdiri dari 47 spesies (12 genus vegetasi berbunga, 8 famili). Vegetasi yang penting dan dominan adalah Aegiatilis, Aegiceras, Avicennia, Bruguiera, Ceriops, Conocarpus, Laguncularia, Lutmnitzera, Rhizophora, Snaeda, Sonneratia dan Xylocarpus.

Vegetasi mangrove bekembang dengan baik di kawasan pantai tropis, yaitu daerah yang terlindung dari gerakan gelombang, perairan dangkal, daerah pasang surut dan estuari. Secara geografis penyebaran ekosistem mangrove lebih luas daripada ekosistem terumbu karang, yaitu sampai di pantai utara Teluk Mexico, sepanjang pantai barat dari bagian tengah dan utara Amerika Utara dan Afrika, sebelah selatan pulau paling utara di Selandia Baru. Menembus bagian hulu sepanjang tebing Sungai Fly (300 km) di Nugini (McNae, 1968).

Karakteristik
Schimper (1898) menganggap bahwa hutan mangrove sebagai komunitas vegetasi xerofil yang secara fisiologis habitatnya kering karena kadar garam yang tinggi. Steenis (1958) mengemukakan bahwa faktor utama yang mengakibatkan adanya ecological preference berbagai jenis organisme adalah kombinsi faktor-faktor:
- Tipe tanah: keras atau lembek, kandungan pasir dan liat dalam berbagai perbandingan..
- Salinitas: variasi harian dan nilai rata-rata per tahun secara kasar sebanding dengan frekuensi, kedalaman dan jangka waktu genangan.
- Ketahanan jenis terhadap arus dan ombak.
- Kondisi perkecambahan dan pertumbuhan semai dalam hubungannya dengan amplitudo ekologi jenis-jenis terhadap tiga faktor di atas.

Watson (1928) mengemukakan adanya korelasi antara jenis vegetasi dengan tinggi pasang dan lamanya penggenangan.
Kelas 1. digenangi setiap air pasang (all high tide), genangan 56 – 62 kali/bulan. Di tempat ini jarang ada jenis yang dapat hidup, kecuali R, mucronata yang tumbuh di tepi sungai.
Kelas 2. digenangi air pasang agak besar (medium high tide). Di tempat ini tumbuh Avicennia dan Sonneratia, berbatasan dengan sungai R. mucronata dominan.
Kelas 3. digenangi oleh air pasang rata-rata (normal high tide). Tempat ini mencakup sebagian besar hutan bakau yang ditumbuhi oleh R.mucronata, R. apiculata, Ceriops tagal dan Bruguiera parviflora.
Kelas 4. digenangi oleh pasang perbani (spring tide). Di tempat ini Rhizophora diganti oleh Bruguiera. Pada lumpur yang keras Bruguiera cylindrica membentuk tegakan murni dan di tempat dengan drainase lebih baik tumbuh B.parviflora kadang-kadang dengan B. sexangula.
Kelas 5. kadang-kadang digenangi oleh paang tertinggi (exceptional or equinoctial tides). Di tempat ini B. gymnorhiza berkembang dengan baik, sering bersama pakis dan kadang-kadang R. apiculata. Ke arah darat ditumbuhi tegakan Oncosperma filamentosa.

Penyebaran
Di pantai yang terlindung dari gerakan gelombang (berkembang baik di estuari tropis), perairan dangkal, daerah intertidal, daerah dengan curah hujan tinggi atau ada aliran air sungai yang menyediakan air tawar.

Secara geografis penyebarannya lebih luas daripada terumbu karnag, yaitu sampai di pantai utara Teluk Mexico, sepanjang pantai barat dari bagian tengah dan utara Amerika Utara dan Afrika, sebelah selatan pulau paling utara di Selandia Baru. Menembus bagian hulu sepanjang tebing Sungai Fly (300 km) di Nugini (McNae, 1968), tidak terdapat pada atoll dan pulau yang terisolasi seperti Hawai (bakau masuk Hawai pada tahun 1902).

Habitat Mangrove
Komunitas mangrove tumbuh dan berkembang di habitat dengan karakteristik (1) kawasan pasang surut dengan substrat berupa lumpur, lempung dan / atau pasir, (2) tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan ini menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove, (3) menerima pasokan air tawar yang cukup dari daratan, (4) terlindung dari gelombang besar dan arus pasang yang kuat, (5) salinitas payau (2 – 22 ‰) sampai asin (38 ‰).

Kondisi fisik habitat mangrove mempunyai ciri (1) gerakan air minimal menyebabkan partikel endapan halus cenderung mengendap dan terkumpul  di dasar, maka terbentuk lumpur yang mengandung banyak bakteri dalam kondisi anaerobic, (2) tanah dengan oksigen rendah, kadar garam dan kandungan organik tinggi.

Untuk mengahadapi habitat yang khas tesebut, vegetasi mangrove mengembangkan pola adaptasi yang khas pula:
- Adaptasi terhadap substrat yang kurang stabil dan gerakan pasang surut, vegetasi ini mengembangkan struktur akar yang ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar.
- Adaptasi terhadap kadar oksigen subtrat yang rendah, vegetasi ini mempunyai akar dangkal memanjang ke permukaan substrat, yang memugkinkan mendapat oksigen dari lumpur anoksik. Contoh Avicennia, Bruguiera berakar cakar ayam dengan pneumatofora, Rhizophora berakar tongkat / penyangga dengan lentisel, Bruguiera berakar lutut, Ceriops decandara, C. tagal, Heritiera littoralis, Xylocarpus granatum berakar papan (Gambar 1).
- Adaptasi terhadap kadar garam tinggi, maka daunnya (a) tebal dan kuat, mengandung banyak air, untuk mengatur keseimbangan garam, (b) memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan, (c) mempunyai sel khusus untuk menyimpan garam, (d) beberapa vegetasi mangrove mempunyai kelenjar garam yang menolong menjaga keseimbangan osmotik dengan mengeluarkan garam.

Pola perakaran mangrove yang pada dasarnya merupakan bentuk adaptasi terhadap habitatnya, lebih jauh menyebabkan habitat di ekosistem tersebut semakin berbeda dengan kawasan pantai yang tidak ditumbuhi oleh vegetasi mangrove. Perakaran yang rapat menyebabkan gerakan air akibat kekuatan gelombang maupun pasang surut dapat diredam, sehingga partikel endapan yang dibawa air akan cenderung mengendap dan terkumpul di dasar, maka terbentuk endapan lumpur yang mengandung banyak bahan organik dan bakteri dalam kondisi oksigen rendah atau anaerobik.

Zonasi Komunitas Mangrove
Ditinjau dari sifat biologi spesiesnya, secara umum vegetasi mangrove dapat membentuk zonasi, meskipun zonasi ini tidak bersifat univesal, karena karakteristik habitat alami tidak seragam (teratur). Zonasi dimulai dari arah laut ke daratan (1) Sonneratia merupakan spesies yang toleran terhadap subtrat berpasir dan selalu tergenang ar laut, (2) Avicennia toleran terhadap substrat agak berpasir, benih tidak dapat tumbuh sehat di habitat yang terlindung dengan kandungan lumpur yang tebal, (3) Rhizophora toleran di zona pasang surut dengan substrat lumpur, (4) Bruguiera toleran di daerah pasang tertinggi dengan endapan liat yang agak mengeras. Ceriops berupa semak-semak kecil, umumnya bergabung dengan Bruguiera, dan (5) Nypa fruticans merupakan vegetasi pantai yang tumbuh di zona transisi antara habitat mangrove dengan hutan dataran rendah.

Daur Hidup Mangrove
Daur hidup vegetasi mangrove sangat dipengaruhi oleh gerakan air dan kondisi substrat tempat tumbuh. Contoh daur hidup Rhizophora dan Bruguiera (Gambar 3) adalah sebagai berikut: Benih akan berkecambah ketika masih di vegetasi induk, semaian ini terus memanjang dan semakin berat, kemudian telepas dan jatuh. Semaian yang jatuh dapat langsung menancap di substrat lumpur atau mengapung terbawa gerakan air. Jika semaian yang terbawa oleh gerakan air ini sampai di pantai yang dangkal dan substratnya cocok untuk tumbuh, maka ujung akar akan menancap dan secara bertahap tumbuh menjadi pohon.

Fauna yang Berasosiasi
Ekosistem mangrove banyak dihuni oleh berbagai macam fauna. Fauna tersebut terdiri dari fauna terestrial dan fauna akuatik.
Fauna terestrial menempati bagian atas vegetasi mangrove antara lain insekta, ular, primata dan burung.

Fauna akuatik ada yang hidup di kolom air contohnya :
- Ikan belanak (Mugil cephalus), yang memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai tempat pembesaran.
- Ikan blodok atau mud skipper (Periopthalmus), yang memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai tempat hidup dan berkembang biak, dengan cara membuat lubang, dan berjalan di lumpur serta mendaki akar mangrove. Untuk hidup di zona pasang surut yang berlumpur ikan ini mengembangkan pola adaptasi yang khas, antara lain (1) sirip dada kuat untuk berjalan, merangkak, melompat, (2) mata tinggi di kepala, membentuk fokus yang baik di udara, tetapi tidak baik di air, jika berenang mata menonjol ke permukaan, (3) sistem pernafasan dengan insang yang mengalami reduksi, tetapi disempurnakan dengan bervaskularisasi di rongga mulut dan ruangan insang.
- Udang Penaeid memanfaatkan sebagai tempat pembesaran, udang Upogebia danThalassima memanfaatkannya sebagai tempat hidup dengan cara membuat lubang di substrat dasar.
- Fauna akuatik yang hidup di substrat keras seperti akar dan batang mangrove, contohnya gastropoda (Littorinidae), bivalva (tiram).
- Fauna akuatik yang hidup di substrat lunak seperti lumpur, contohnya gastropoda (Ellobiidae dan Potamididae), dekapoda (kepiting laga Uca, kepiting darat tropic Cardisoma, kepiting hantu Dotila dan Cleistostoma, kepiting bakau Scylla serata), dan kerang. Kepiting hidup dengan cara membuat lubang di substrat lunak. Fungsi lubang sebagai tempat perlindungan, berkembang biak, bantuan mencari makan. Manfaat lubang ini bagi pohon bakau dapat menyediakan oksigen di endapan, sehingga dapat mengurangi kondisi anoksik. Organisme ini memakan detritus (memisahkan partikel detritus dari anorganik dengan cara menyaring substrat melalui sekumpulan rambut di sekeliling mulut).

Rantai Makanan
Rantai makanan di ekosistem mangrove berbeda dengan rantai makanan yang ekosistem perairan lainnya. Umumnya di ekosistem perairan rantai makanan diawali oleh autotrof berupa fitoplankton atau tanaman air, yang memanfaatkan nutrien anorganik dengan bantuan sinar matahari membentuk bahan organik. Di ekosistem mangrove rantai makanan diawali oleh guguran vegetasi mangrove yang disebut seresah, terdiri dari daun, ranting, buah, batang. Seresah ini sebagian langsung dikonsumsi oleh ikan, udang, kepiting dan gastropoda. Sebagian dan ditambah sisa metabolisme organisme pemangsa tersebut, didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi nutrien terlarut. Nutrien hasil dekomposisi ini kemudian dimanfaatkan oleh mangrove sendiri, atau fitoplankton yang berada di perairan laut terbuka.

Kerusakan Ekosistem Mangrove
Kerusakan ekosistem mangrove dapat diakibatkan oleh (1) overeksploitasi oleh pengguna tradisional, (2) konversi untuk akuakultur, agrikultur, tambak garam, (3) pengembangan kota, (4) kontruksi pelabuhan dan saluran, (5) tempat pembuangan sampah/limbah padat dan cair, (6) tumpahan oli dan bahan kimia berbahaya, (7) angin topan dan tsunami.
Kematian vegetasi mangrove dapat dikibatkan oleh (1) aktivitas isopoda kecil Sphaeroma terebrans, yang dapat merusak akar dengan cara melubanginya, (2) manusia karena herbisida, penimbunan, penggalian, pembuatan saluran air, kolam, tambak, produksi garam.

Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Kawasan pantai dan hutannya merupakan daerah penyangga antara ekosistem darat dan laut, juga merupakan salah satu sumberdaya alam yang berguna bagi kehidupan manusia. Itulah sebabnya sumberdaya hutan pantai (mangrove) perlu dilindungi dan dilestarikan. Sesuai dengan Keputusan Presiden No.32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung maka diperlukan suatu usaha untuk mengetahui formasi mangrove sebagai kawasan perlindungan, pengawetan dan reklamasi. Untuk kawasan mangrove yang sudah terlanjur diesploitasi maka perlu dilakukan penghijauan kembali (regreening), secara nasional program ini telah dicanangkan sejak tahun 1993, namun lebih banyak mengarah pada penghijauan hutan-hutan darat dan taman hutan kota.

Jalur hijau
Jalur hijau lebarnya masih belum standar, antar lembaga pemerintah berbeda dalam menetapkan kawasan tersebut:
- Dirjen Perikanan mengharuskan 400 m dari pasang terendah.
- Dirjen kehutanan mengharuskan minimal 50 m dari garis pantai (1984).
- SKB Mentan & Menhut mengharuskan minimal 200 m (1984).
- Biotrop mensyaratkan 250 – 752 m.
- Keppres No.32/1990   mengharuskan minimal 130 x nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat.

Manajemen dan Konservasi
Pengelolaan hutan mangrove secara lestari harus memasukkan konsep konservasi. Konservasi diartikan sebagai manajemen pemanfaatan biosfer oleh manusia secara sustainable untuk generasi sekarang, dengan mempertahankan potensinya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi yang akan datang. Kegiatan konservasi ini meliputi pemeliharaan, penjagaan, pemanfaatan, restorasi, dan perbaikan lingkungan alami.

Tujuan Konservasi
Mempertahankan proses ekologis dan system yang mendukung kehidupan.
Memelihara diversitas genetic.
Menjamin pemanfaatan spesies dan ekosistem secara lestari.
Rumusan untuk mencapai tujuan

Zonasi berdasarkan pemanfaatan, langkah yang diambil:
Penyediaan peta kondisi, dengan mempertimbangkan distribusi dan kualitas hutan mangrove, bentuk tanah, pola drainase, pola arus, factor pendukung dan perusak.
Perencanaan zonasi dikoordinasikan dengan rencana pengembangan kawasan pantai secara nasional.
Zonasi diuraikan berdasar aktifitas:
Zona konservasi  berfungsi mempertahankan diversitas genetik, penelitian, pendidikan, rekreasi, budaya, perlindungan pantai dan habitat organisme.
Zona manajemen berfungsi mendukung produksi kayu dan hasil perikanan lestari.
Zona konversi berfungsi untuk akuakultur, tambak garam, agrikultur, pengembangan kota, dan industri.
Reboisasi, perlu mempertimbangkan pola pasut, kondisi tanah, biota penghalang, dan biologi mangrove.
Sistem pemanfaatan bersama.
Sistem manajemen terpadu perikanan dan kehutanan, sistem tumpang sari atau silvo fishery dapat menyelamatkan mangrove secara alami (kayu dapat dimanfaatkan) dan menyediakan produk perikanan (ikan atau udang) secara trdisional.
Sistem manajemen terpadu pertanian dan keehutanan.
Tambak garam.
Perumahan, pelabuhan, dan industri.
Konservasi diperlukan perangkat hukum, peraturan, pelaksanaan, sumberddaya manusia, sarana, pengetahuan, pendidikan dan partisipasi masyarakat.

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Followers