DESKRIPSI
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae)
yang berbiji satu (monokotil) dan mempunyai akar rimpang (rhizome), daun, bunga
dan buah. Jadi sangat berbeda dengan rumput laut (algae) (Wood et al. 1969;
Thomlinson 1974; Azkab 1999). Vegetasi lamun memiliki akar rimpang (rhizome)
yang merupakan batang terpendam dalam tanah, merayap secara mendatar dan
berbuku – buku. Pada buku – buku tersebut tumbuh akar ke arah bawah dan batang
pendek yang tegak ke atas, berdaun dan berbunga (Nontji, 1993). Daun lamun
tipis, memanjang seperti pita, dilengkapi saluran air (Nybakken, 1992). Bentuk
daun ini dapat memaksimalkan difusi gas dan nutrien antara daun dan air, juga
memaksimalkan proses fotosintesis di permukaan daun (Philips dan Menez, 1988).
Daun tidak banyak mengandung serat seperti rumput yang hidup di darat, dapat
menyerap nutrien langsung dari air, dan rongga (saluran air) di dalamnya
menyebabkan daun dapat berdiri tegak di air (Hutomo,1997). Sebagian besar lamun
berumah dua, artinya dalam satu individu hanya ada jantan saja atau betina
saja. Sistem pembiakannya bersifat khas karena melalui penyerbukan dalam air
(Nontji, 1993). Artinya produksi serbuk sari dan
penyerbukan sampai pembuahan semuanya terjadi dalam air laut.
Lamun dapat ditemukan di seluruh dunia kecuali di daerah kutub,
berjumlah 52 jenis (spesies). Di Indonesia hanya ada 2 famili, 7 genus, 12
spesies (Tabel 1). Spesies lamun ada yang dapat membentuk ekosistem tunggal
(populasi) antara lain Thalassia
hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Cymodoceae serulata dan Thallasiadendron ciliatum. Di Indonesia,
penyebaran Thalasiadendron ciliatum
terbatas, Halophila decipiens
ditemukan di Teluk Jakarta, Teluk Moti-Moti dan Kepulaun Aru, sedangkan Halophila spinulosa dapat ditemukan di
daerah Riau, Anyer, Baluran, Irian Jaya, Belitung dan Lombok (Den Hartog, 1970;
Azkab, 1999; Bengen 2001)
Klasifikasi lamun menurut Phillips dan Menez (1988)
adalah sebagai berikut :
Divisi: Anthophyta
Kelas: Angiospermae
Kelas: Angiospermae
Subkelas: Monocotyledonae
Ordo: Helobiae
FAKTOR
ABIOTIK
Suhu
Suhu
mempengaruhi proses fotosintesis, respirasi, pertumbuhan, reproduksi. Untuk
perkembangan optimum 28°C-30°C, sementara untuk fotosintesis optimum 25°C-35°C
(cahaya penuh).
Kecepatan arus
Kecepatan
arus mempengaruhi transport / ketersediaan nutrien dan hilangnya limbah
metabolisme (Moore, 1958), juga produktifitas, contohnya Turtle grass
menghasilkan standing crop maksimal pada kecepatan arus 0.5 m / detik
(Dahuri et al., 1996).
Salinitas 10 - 40°/oo., optimum toleransi 35°/oo
(Dahuri et al,. 1996).
Kecerahan, sampai mencapai vegetasi (dasar perairan).
Substrat dasar lunak sehingga dapat ditembus akar
rimpang. Padang lamun hidup di berbagai tipe
sedimen, mulai dari lumpur sampai sedimen dasar yang terdiri dari 40% endapan
lumpur (Dahuri et al., 1996). Peranan
ketebalan substrat dalam stabilitas sedimen mencakup dua hal,yaitu (1)pelindung
tanaman dari arus laut, dan (2) tempat pengolahan dan pemasok nutrien (Berwick,
1983).
Di
perairan Indonesia lamun dapat tumbuh di substrat (1) lumpur, (2) lumpur
pasiran, (3) pasir, (4) pasir lumpuran, (5) puing karang dan (6) batu karang. Nutrien diambil dari kolom air oleh daun, dan
substrat oleh akar.
FAKTOR BIOTIK
Ekosistem lamun memiliki diversitas dan densitas fauna yang
tinggi karena (1) gerakan daun lamun dapat merangkap larva invertebrata dan
makanan tersuspensi pada kolom air, (2) lamun dapat menghalangi pemangsaan
fauna bentos sehingga kerapatan dan keanekaragaman fauna bentos tinggi. Menurut
Romimohtarto dan Juwana (1999) ekosistem lamun memiliki kerapatan fauna
keanekaragaman sebesar 52 kali untuk epifauna dan sebesar 3 kali untuk infauna
dibandingkan pada daerah hamparan tanpa tanaman lamun. Organisme penghuni lamun
antara lain:
Ikan
Krustasea
Moluska (Pinna sp, Lambis sp, Strombus sp)
Ekinodermata (Holothuria
sp, Synapta sp, Diadema sp, Arcbaster sp,
Linckia sp)
Cacing ( Polichaeta) (Bengen, 2001).
Dekapoda
(kepiting)
Duyung
(Dugong dugon) mengkonsumsi lamun.
Penyu
hijau (Chelonia mydas) mengkonsumsi lamun.
ASOSIASI
Asosiasi padang lamun dengan terumbu karang:
Rhizoma lamun mengikat dan menstabilkan sedimen, daun menghambat
arus dan "menangkap" bahan organik dan anorganik . Maka garis pantai
terlindung dari erosi atau penimbunan sedimen di terumbu karang terhalangi.
Banyak spesies ikan terumbu karang pada saat mudanya hidup,
mencari makan dan memperoleh naungan terhadap predator di padang lamun. Dengan
demikian padang lamun memberikan sumbangan terhadap produktivitas sekunder
terumbu karang.
Asosiasi padang laum dengan rumput laut. Di padang lamun, juga
tumbuh berbagai jenis rumput laut, yang terdiri dari 18 spesies, yaitu 9
spesies algae hijau (Chlorophyta), 3 spesies algae coklat (Phaeophyta) dan 6
spesies algae merah ( Rhodophyta).
Asosiasi padang lamun dengan komunitas ikan. Ada 7 karakteristik
untuk ikan yang berasosiasi dengan lamun (Bell dan Pollard, 1989)
1. Keanekaragaman dan kelimpahan ikan lebih tinggi dibandingkan
tidak ada lamun.
2. Lamanya asosiasi berbeda-beda sesuai dengan spesies dan fase
siklus hidup ikan.
3. Sebagian besar asosiasi dijembatani oleh plankton, jadi padang
lamun adalah daerah asuhan ikan.
4. Makanan utama iakan adalah zooplankton dan epifauna krustasea.
5. Ada pembagian sumberdaya yang menentukan komposisi spesies ikan.
6. Ada asosiasi dengan ekosistem lain. Kelimpahan dan komposisi
spesies ikan juga tergantung pada terumbu karang, estuaria dan mangrove.
7. Komunitas ikan dari padang lamun yang berbeda seringkali berbeda
juga, walaupun dua habitat itu berdekatan.
Kajian asosiasi padang lamun dengan ikan di Indonesia, oleh
Hutomo dan Martosewojo (1977), dilakukan di Pulau Pari yang merupakan padang
lamun Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides. Jumlah
ikan yang ditemukan 32 famili 78
spesies, dan hanya 6 famili (Apogonidae,
Atherinidae, Labridae, Gerridae, Siganidae dan Monacanthidae) yang hidupnya menetap.
Karakterisik ikan di padang lamun P. Pari tersebut adalah:
- Penghuni tetap, memijah
dan sebagian besar fase hidup di padang lamun (contohnya Apogon
margaritoporous).
- Menetap dari fase juvenile
sampai dewasa, tetapi memijah di luar padang lamun (contoh Halichoeres
leparensis, Pranaesus duodecimalis, Paramia quinquilineata, Gerres macrosoma,
Monachantus tomentosus, M.hajam, Hemiglyphidodon plagyometopon, Synadhoides
biaculeatus).
- Menetap hanya pada fase
juvenile (contoh Siganus canaliculatus, S.virgatus, S.chrysospilos,
Lethrinus spp, Scarus spp, Abudefduf spp, Monachnthus mylii, Mulloides
samoensis, Pelates quadrilineatus, Upeneus tragula).
- Menetap sewaktu-waktu atau
singgah untuk berlindung atau mencari makan.
FUNGSI
LAMUN
Menurut Nybakken (1988) fungsi ekologis padang lamun adalah:
(1) sumber utama produktivitas primer, (2) sumber makanan bagi organisme dalam
bentuk detritus, (3) penstabil dasar perairan dengan sistem perakarannya yang
dapat menangkap sediment (trapping sediment), (4) tempat berlindung
bagi biota laut, (5) tempat perkembangbiakan (spawning ground),
pengasuhan (nursery ground), serta sumber makanan (feeding ground)
bagi biota-biota perairan laut, (6) pelindung pantai dengan cara meredam arus,
(7) penghasil oksigen dan pereduksi karbondioksida di dasar perairan.
Nilai ekonomi dan ekologi padang lamun (manfaat ekonomi
total), terkait dengan biota yang hidupnya tergantung dengan ekosistem padang
lamun sebesar U$ 412.325 per ha per tahun atau 11,3 milyar rupiah per hektar
per tahun (Fortes, 1990). Di Inodnesia terdapat hingga 360 spesies ikan
(seperti ikan baronang), 117 jenis makro-alga, 24 jenis moluska, 70 jenis
krustasea, dan 45 jenis ekinodermata (seperti teripang) yang hidupnya didukung
oleh ekosistem padang lamun. Disamping itu, padang lamun telah
dimanfaatkan secara langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
seperti untuk makanan, pupuk, obat-obatan.
KERUSAKAN
EKOSISTEM LAMUN
Kerusakan ekosistem lamun, antara lain,
karena reklamasi dan pembangunan fisik di garis pantai, pencemaran, penangkapan
ikan dengan cara destruktif (bom, sianida, pukat dasar), dan tangkap lebih
(over-fishing). Pembangunan pelabuhan dan industri di Teluk Banten, misalnya,
telah melenyapkan ratusan hektar padang lamun. Tutupan lamun di Pulau Pari (DKI
Jakarta) telah berkurang sekitar 25 persen dari tahun 1999 hingga 2004.
Mengingat ancaman terhadap padang lamun
semakin meningkat, akhir-akhir ini mulailah timbul perhatian untuk
menyelamatkan padang lamun. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil juga telah mengamanatkan perlunya
penyelamatan dan pengelolaan padang lamun sebagai bagian dari pengelolaan
terpadu ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Program pengelolaan padang
lamun berbasis masyarakat yang pertama di Indonesia adalah Program Trismades
(Trikora Seagrass Management Demonstration Site) di pantai timur Pulau Bintan,
Kepulauan Riau, yang mendapat dukungan pendanaan dari Program Lingkungan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UNEP) dan baru dimulai tahun 2008.
Awal Oktober 2009, tiga badan PBB, yakni
UNEP, FAO, dan UNESCO, berkolaborasi meluncurkan laporan yang dikenal sebagai Blue
Carbon Report. Laporan ini menggarisbawahi peranan laut sebagai
pengikat karbon (blue carbon),
sebagai tandingan terhadap peranan hutan daratan (green carbon) yang selama ini sangat mendominasi wacana dalam
masalah pengikatan karbon dari atmosfer. Di seluruh laut terdapat tumbuhan yang
dapat menyerap karbon dari atmosfer lewat fotosintesis, baik berupa plankton
yang mikroskopis maupun yang berupa tumbuhan yang hanya hidup di pantai seperti
di hutan mangrove, padang lamun, ataupun rawa payau (salt marsh). Meskipun tumbuhan pantai (mangrove, padang lamun, dan
rawa payau) luas totalnya kurang dari setengah persen dari luas seluruh laut,
ketiganya dapat mengunci lebih dari separuh karbon laut ke sedimen dasar laut.
Keseluruhan tumbuhan mangrove, lamun, dan
rawa payau dapat mengikat 235-450 juta ton karbon per tahun, setara hampir
setengah dari emisi karbon lewat transportasi di seluruh dunia. Dengan
demikian, penyelamatan ekosistem padang lamun sangat penting, dan tidak kalah
strategis, dibandingkan dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang yang sudah
mulai mendunia dengan Coral Triangle
Initiative atau ekosistem mangrove dengan Mangrove for the Future.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar